Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid
Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.
Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.
Kajian Ilmu
ETIKA BISNIS DALAM ISLAM
by Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd.,M.Si
I. Pengertian Bisnis
Bisnis adalah kata
serapan dari bahasa Inggris yaitu Bussiness. Bisnis secara etimologi yaitu
selling, atau the activity of buying and selling goods and service (Cambridge
Advance Learner’s Dictionary: 2013: 201). Perspektif dari pengertian tersebut bahwa
bisnis sama dengan jual beli, ada penjual, pembeli, ada barang, dan ada alat
transaksi jual beli, dan akad. Syarat tersebut menjadi bukti konkrit agar
terlaksananya jual beli secara maksimal.
Bisnis
di dalam bahasa Arab yaitu tijarah. Imam
al-Nawawi, ahli fikih Mazhab Syafi’I, mengartikan tijarah sebagai
pemindahan hak terhadap benda dengan
melakukan tukar menukar barang. Harta yang diperdagangkan itu harus
berupa benda yang dapat dihadirkan pada saat transaksi dan boleh juga tidak,
asal bisa ditentukan (disifati) bentuk dan ukurannya (Ensklopedi Hukum Islam
Jilid 1: 1996: 1825).
Melalui
pendapat Imam Nawawi, bahwa secara tidak
langsung ia telah memprediksikan akan ada jual-beli secara online untuk di
abad modern. Namun, batasan jual-beli
secara online harus ada kejelasan barang, dan transaksi jual beli pada barang
tersebut. Maka kesesuaian barang yang dijual
dan dibeli harus menjadi perhatian.
Pada
prinsipnya hukum tijarah itu adalah mubahah (diperbolehkan). Maka hal ini telah termaktub di dalam al-Quran :
ÙˆÙŽØ£ÙŽØَـلَّ اللَّه٠الْـبَيْعَ ÙˆÙŽØَرَّمَ الـرّÙبـَا Ûš Ùـَمَنْ
جَاءَه٠مَوْعÙظَةٌ Ù…Ùنْ رَبــّÙÙ‡Ù Ùَانْـتـهَىٰ Ùَلَه٠مَا سَلَـÙÙŽ وَأَمْرÙه٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّه٠ۖ وَمَنْ عَادَ ÙÙŽØ£ÙولَٰئÙـكَ أَصْØَاب٠الـنَّـار Ù Û– Ù‡Ùمْ ÙÙيهَا خَالÙدÙونَ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.†(QS Al-Baqarah ayat 275)
Ayat tersebut
menunjukan bahwa Allah memperbolehkan jual beli sebagai usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Adapun kebutuhan yang seperti kita ketahui adalah
primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan utama
manusia agar kelayakan dan kenyamanan
hidup menjadi prioritas yang utama. Namun keutamaan tersebut harus diselaraskan
oleh pendapatan yang diperoleh.
Namun Ulama fikih
mengatakan bahwa memperdagangkan barang dagangan bisa menjadi wajib bila
terkait dengan kebutuhan pokok atau hal-hal yang mendesak, seperti makanan dan
minuman, serta menjaga jiwa secara umum dari kelaparan. Ada juga perdagangan
yang disunahkan seperti seseorang yang bersumpah yang menjual barang
dagangannya yang sebenarnya tidak memberi mudharat kalau ia jual. Sedangkan
yang makruh adalah memperdagangkan benda yang makruh dimanfaatkan, seperti rokok
atau makanan yang halal tetapi tidak sedap baunya. Sementara yang diharamkan
adalah memperdagangkan benda yang tidak bermanfaat dan dilarang syarak
(Ensklopedi Hukum Islam : 96: 1825) .
Sedangkan Ibnu
Khaldun memberi pengertian bahwa tijarah adalah usaha manusia untuk memperoleh
dan meningkatkan pendapatannya dengan mengembangkan property yang dimilikinya,
dengan cara membeli komoditi dengan harga mahal, baik barang tersebut berupa
tepung atau hasil-hasil pertanian, binatang ternak, maupun kain. Jumlah nilai
yang tumbuh dan berkembang itulah yang dinamakan laba (Ibnu Khaldun: 2001: 712)
Pandangan tersebut
mengandung bahwa barang yang dijual harus bersifat halal dan bagus, dan nilai
harga yang dijual tidak terlalu mahal agar komoditi usaha yang dijalankan bisa
mencapai kepuasan si pembeli dan si penjual. Problemnya adalah bila kepuasaan
tersebut hanya bisa dirasakan si penjual tetapi tidak dirasakan pembeli akan
terjadi makruh di dalam tijarah. Banyak hal tersebut kita dapatkan didalam
masyarakat bahwa barang setelah dibeli mengalami kecacatan.
Maka itu dalam
upaya menambah besarnya properti maka pedagang harus mempunyai modal yang cukup
untuk membeli berbagai komoditi dengan tunai. Begitu juga dalam menjualnya, harus dengan
tunai. Selain itu, para pedagang juga harus dapat bertransaksi tawar menawar
mengenai harganya. Karena Kejujuran jumlahnya hanya sedikit di masyarakat,
sehingga akan menjurus pada penipuan, pengurangan takaran, dan timbangan (Ibnu
Khaldun: 2001: 713).
II.Prinsip
Bisnis dalam Islam
Prinsip Bisnis di
dalam Islam yaitu rukun tijarah. Rukun tijarah ada 3 macam,
a) Sigah (sigat)
b) aqid,
c) ma’qud ‘anh.
a) Sigah
Sigat berarti
bentuk transaksi atau penyerahan barang (ijab) oleh penjual kepada pembeli
dengan imbalan sejumlah uang sebagai penjualan, dan penerimaan barang (kabul)
oleh pembeli dari penjual dengan penyerahan sejumlah uang sebagai pembelian. Ijab Kabul bisa dilakukan secara tunai,
tulisan dan delegasi. Aqid berarti pelaku akad atau pelaku transaksi (orang
yang terkait dengan perdagangan). Manqudh anh berarti benda yang diperdagangkan
itu, baik berupa uang atau benda yang dihargakan dengan uang itu. (Ensklopedi
Hukum Islam jilid 2: 1996: 1826)
Adapun
ulama mazhab Hanafi berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu sigah
al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut mereka,
tidak termasuk rukud akad akan tetapi syarat akad karena menurut mereka yang
dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri,
sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad di luar esensi akad.
Sigah al-Aqd merupakan rukun akad
yang terpenting. Karena melalui pernyataan inilah diketahui maksud setiap pihak
yang melakukan akad (aqid). Sigah al-Aqd ini diwujudkan melalui ijab dan Kabul.
Dalam kaitannya dengan ijab dan Kabul ini, ulama fikih mensyaratkan, a) tujuan
pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami dari pernyataan itu jenis akad
yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri b)berbeda dalam sasaran dan
hukumnya, b) antara ijab dan kabul terdapat kesesuaian, c) pernyataan ijab dan
kabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak
ragu-ragu (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1: 1996 : 1986)
Ijab kabul bisa terbagi dalam 3 bentuk, a).
perkataan, b). Tulisan, b). perbuatan,
c) Isyarat. Ijab kabul berbentuk perkataan yang sering diucapkan, “Saya jual
buku ini dengan harga Rp. 5000,†dan pihak lainnya menyatakan kabul dengan
perkataan, “Saya beli buku itu dengan harga Rp. 5000.†Pernyataan ijab dan
kabul melalui tulisan juga demikian, dan harus memenuhi ketiga syarat diatas.
Pernyataan ijab dan kabul melalui perbuatan
adalah melakukan perbuatan yang menunjukan kehendak untuk melakukan suatu akad.
Misalnya, di pasar swalayan, seseorang mengambil barang tertentu dan membayar
harganya ke kasir sesuai dengan harga yang tercantum pada barang tersebut.
Perbuatan tersebut sudah menunjukan kehendak kedua belah pihak (pembeli dan
penjual) untuk melakukan akad jual beli. Jual beli seperti ini di dalam fikih
disebut dengan bai’ al-mu’atah (jual beli dengan saling memberi (Ensklopedi
Hukum Islam Jilid 1: 1996: 64)
Ulama mazhab Syafi’I dalam kaul qadim
(pendapat yang pertama) tidak membolehkan akad seperti ini. Karena menurut
mereka kehendak kedua belah pihak yang berakad harus dinyatakan secara jelas
melalui perkataan ijab dan qabul. Sedangkan Ulama Mazhab Syafi’I dalam kaul
jaded (pendapat baru) seperti Imam Nawasi membolehkan jual beli seperti ini
telah menjadi kebiasaan masyarakat di berbagai wilayah Islam.
Selanjutnya, suatu akad juga dapat dilakukan
melalui Isyarat yang menunjukan secara jelas kehendak pihak-pihak yang
melakukan akadisyarat Misalnya, isyarat
yang ditunjukkan oleh orang bisu yang tidak dapat menulis. Dalam kaitan ini, ulama
fikih juga membuat kaidah, yaitu “Isyarat yang jelas dari orang bisu sama
dengan penjelasan lisanâ€. Artinya, jika orang dapat memberikan isyarat yang
sudah menjadi kebiasaan baginya, dan isyarat itu menunjukan suatu akad. Maka
isyarat tersebut sama posisinya dengan penjelasan melalui lisan orang yang
dapat berbicara secara langsung (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1: 1996:65)
b) aqid
Aqid
ialah pihak-pihak yang melakukan akad. Umumnya aqid telah cakap bertindak
(mukalllaf) atau jika objek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau
belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu,
suatu akad yang dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz secara
langsung, hukumnya tidak sah. Tetapi, jika dilakukan oleh wali mereka, dan
sifat akad yang dilakukan wali ini memberi manfaat bagi orang yang diampunya,
maka akad itu hukunya sah.
c) Manqudh adh
Manqudh
adh yaitu objek akad yang diakui oleh syarak. Untuk
objek akad ini disyaratkan pula berbentuk harta, dimiliki oleh seseorang,
bernilai harta menurut syarak. Oleh sebab itu, jika objek akad itu sesuatu yang
tidak benilai harta dalam islam, maka akadnya tidak sah, seperti khamar. Di
samping itu, jumhur ulama fikih selain ulama mazhab hanafi menyatakan bahwa
barang najis seperti anjing, babi, bangkai, dan darah tidak dapat dijadikan
objek akad, karena barang najis. Termasuk syarat ke dalam syarat kedua ini,
menurut Muustafa Ahmad Az-Zarqa, adalah memperjualbelikan harta wakaf. Akibat
hukum dari akad jual beli adalah berpindahnya kepemilikan objek jual beli dari
penjual kepada pembeli. Harta wakaf bukanlah merupakan hak milik yang dapat
diperjualbelikan, karena harta wakaf itu milik
bersama kaum muslimin, bukan milik pribadi seseorang.
Berbeda halnya
dengan akad sewa-menyewa harta wakaf. Hal ini dibolehkan, karena harta wakaf
itu tidak berpindah tangan secara utuh kepada pihak penyewa. Objek akad juga
harus ada dan dapat diserahkan ketika berlangsungnya akad karena
memperjualbelikan sesuatu yang belum ada dan tidak mampu diserahkan hukumnya
tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullulah Saw yang menyatakan bahwa
tidak boleh memperjualbelikan barang yang tidak (belum) ada. (HR. Bukhari dan
Muslim). Namun demikian, ulama fikih mengecualikan beberapa bentuk akad yang
barangnya belum ada, seperti seperti jual beli pesanan (ba’I as-Salam),
istisna, ijarah, dan musaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya).
Alasan pengecualian ini adalah akad-akad seperti ini amat dibutuhkan masyarakat
dan telah menjadi adat kebiasaan (urf).
III. Etika produksi dan distribusi
Di dalam bisnis
tentunya ada barang yang diproduksi. Setelah produksi itu berlangsung maka
barang tersebut didistribusikan untuk menghasilkan laba yang maksimal. Namun
dalam proses produksi dan distribusi ada tuntunannya dalam Islam. Tuntunan
tersebut mencakup hal-hal yang harus diperhatikan secara syarak. Adakalanya
kekayaan itu benar-benar milik seseorang tetapi ia terlarang memperdagangkannya
karena cara-caranya menyimpang dari ketentuan syarak. Adapula perdagangan yang
memenuhi persyaratan atau rukum tertentu tetapi unsur-unsurnya mengadung
hal-hal yang silarang oleh syarak. Oleh karena itu Islam memberikan tuntunan
antara lain sebagai berikut : (Ensklopedi Hukum Islam: 1996: 1826-1827)
1)
Perdagangan
itu tidak melalaikan pelakunya untuk beribadah atau ingat kepada Allah. Lalai
berarti merugi di sisi Allah serta tidak akan melepaskannya dari siksa Api
neraka (QS. 63:9; QS. 24:37). Pada zaman Nabi Muhammad pernah orang-orang
meninggalkan salat Jumay ketika nabi sedang berkhotbah hanya semata-mata
memperebutkan barang dagangan dari Syam (Suriah). Allah Swt berfirman: “… Katakanlah: ‘Apa yang
disisi Allah adalah lebih baik dari permainan dan perniagaan …†(QS. 62 : 11)
2)
Tidak
mengandung unsur penipuan karena berdampak pada kerugian salah satu pihak.
Unsur penipuan ini termasuk kepada memakan harta orang lain secara bathil (QS:
2: 188).
3)
Perdagangan
yang tidak dilakukan secara tunai sebaiknya dicatat agar tidak terjadi
kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Kemudian dalam perdagangan itu
dianjurkan adanya persaksian pihak ketiga untuk menguatkan keabsahan
perdagangan tersebut (QS:2:282)
4)
Perdagangan
itu disyaratkan harus ada keridhaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli),
jika salah satu pihak tidak ridha maka pihak lain telah memakan hartanya secara
bathil (QS:4:9)
5)
Boleh
berdagang pada musim haji tetapi jangan dilakukan sebagai tujuan utama karena
akan menghilangkan fadhilah ibadah haji (QS.2:198)
6)
Apabila
kekayaan barang perdagangan itu telah mencapai kadar yang harus dizakatkan (Nisob
yang 2,5 persen dari nisobnya maka dikeluarkan zakat
Oleh : Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd,M.Si
Dosen MPK Agama Islam Universitas Indonesia