Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid
Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.
Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.
Mawaa'izh
RENUNGAN SUBUH
by K.H. AHMAD RUSYDI FATHULLAH, M.Pd
Kalimat Takbir pada lafazh
azan memberikan ibrah agar kita tidak sombong yang mengantarkan kita untuk
memahami diri kita yang penuh kelemahan.. Kalimat syahadat yang menyebut lafazh
Allah memberikan pemahaman tentang ma’rifatullah. Pelajaran mengenal diri dan mengenal Allah
pada lafazh azan, mengingatkan saya pada
ungkapan yang sarat makna yang dikenal di dunia tasawuf “Siapa yang
mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya,
man arofa nafsah faqod arafa robbah.( ungkapan ini termasuk hadits atau
bukan, ini masalah tersendiri yang perlu kajian dan penelaahan. Namun bila dilhat dari sisi makna, ungkapan ini bisa
mengandung kebenaran. Agar tidak penasaran tentang ungkapan di atas, saya
kutip pernyataan Imam Nawawi yang pernah
ditanya terkait ungkapan tersebut di dalam kumpulan fatwanya, beliau menjawab,
‘Ungkapan itu tidak mempunyai validitas sebagai hadits Nabi", lihat Imam
As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawa, Beirut, Dar al-Fikri, 2004, Juz II, halaman
288).
Orang yang tahu dirinya dan tahu
tuhannya dia akan arif menempatkan posisi dirinya dan kedudukan tuhannya. Dia
sadar dalam kelemahan dirinya ada
kemahaagungan dan kebesaran Allah, dan sudah seharusnya dia meminta
pertolongan kepada Allah, bersandar kepada-Nya, karena dia butuh Allah (faqirun
ilallah). Dan orang yang merasa butuh Allah, dia akan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong dan
angkuh. Yang pantas baginya hanyalah sifat rendah hati, tawadhu. Semakin alim
dia akan semakin merasa bodoh, semakin tinggi posisinya di masyarakat dia
justru semakin rendah hati, semakin kaya
dia semakin butuh kepada Allah.
Dalam hal ini saya jadi ingat untaian hikam Imam Athoillah as-Sakandariy
dalam munajatnya yang bisa menjadi contoh, betapa seorang yang ‘alim sekaliber
beliau masih menyadari kelemahan dan
kedhaifannya,
الهي انا الÙقير ÙÙŠ غنائي Ùكي٠لا اكون
Ùقيرا ÙÙŠ Ùقري
الهي انا الجاهل ÙÙŠ علمي Ùكي٠لا اكون جهولا
ÙÙŠ جهلي
Ilahiy ana al-faqiyru fi
ghina-iy fa kaifa la akunu faqiyran fi qodriy, ilahiy ana al-faqiyru fi ‘ilmiy
fa kaifa la akunu faqiyran fi jahliy, Tuhanku hamba ini fakir dalam kekayaanku,
maka bagaimana aku tidak dapat merasakan
kefakiran (butuh kepada-MU) dalam kefakiranku ini, Tuhanku hamba ini bodoh dalam ilmu yang hamba
miliki, maka bagaimana hamba tidak lebih bodoh dalam hal-hal yang hamba tidak
ketahui.†Benarlah orang bijak yang mengatakan semakin orang
mengenal dirinya maka dia semakin sadar bahwa dia bukan siapa-siapa dan bukan
apa apa.
Karena kebahagiaan yang kita inginkan adalah kebahagiaan yang bukan hanya
di dunia tapi juga di akhirat, maka mengenal diri selaku hamba Allah yang
mengantarkan kita mengenal Allah, itu akan membawa kita menjadi bahagia. Kok
bisa...
Secara sederhana dapat dilukiskan bahwa seseorang yang sudah mengenal
tuhannya, dia akan merasa malu bermaksiat kepada-Nya. Dia akan menjaga dirinya
dari hal-hal yang tidak pantas dilakukan yang justru akan menjatuhkan kemuliaan
dirinya selaku hamba Allah.
“Laqod Karomna bani Adamâ€, Sungguh
betapa Allah itu sangat memuliakan kita, tapi sayangnya kemuliaan yang Allah
berikan tersebut justru kurang kita
syukuri yaitu dengan taat kepada-Nya dalam segala hal dan kondisi. Ittaqillaha
fissirri wal’alaniyah, bertakwalah kepada Allah baik dalam kesunyian maupun
dalam keadaan terang/ramai.
Dan satu hal yeng perlu kita pahami, kemaksiatan sesungguhnya bisa jadi sumber ketidaktenangan dan
ketidaknyamanan dalam hati. Dengan kata lain kemaksiatan yang mungkin secara
zhahir kelihatan menyenangkan sejatinya itu membuat kita nestapa dan tidak bahagia. Itulah mengapa Rasul
bersabda (lihat hadits al-arba’in
an-Nawawiy nomor 27):
وعن وابصة بن معبد رضي الله تعالى عنه قال : [ أتيت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم Ùقال : جئت تسأل عن البر ØŸ قلت : نعم وقال : إستÙت قلبك البر ما اطمأنت إليه النÙس واطمأن إليه القلب والإثم ما Øاك ÙÙŠ النÙس وتردد ÙÙŠ الصدر وإن Ø£Ùتاك الناس وأÙتوك ]
Dan dari Wabishah bin Ma’bad
rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Aku datang kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang
kebajikan?†Aku berkata, “ iya.†Beliau bersabda;†“Bertanyalah kepada hatimu.
Kebajikan adalah apa yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan dosa
adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan melahirkan keraguan dalam hati meskipun
banyak orang yang membenarkanmu.â€
Dengan demikian semakin
ma’rifatullah seseorang maka dia akan semakin mampu menjaga dirinya untuk tidak
jatuh pada hal-hal yang menjatuhkan kemuliaan dirinya yang akhirnya berujung
nestapa. Wa iayadzu billah.
Semoga kita terlindungi
dari hal-hal yang demikian. Kepada Allah kita berserah diri dan semoga Allah
senantiasa memberikan bimbingan dan taufiknya sehingga kita menjadi hamba-Nya
yang mulia. Amiin
Wallahu a’lam
KH. Ahmad Rusydi Fathullah,
M.Pd