Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid

Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.

Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.

Kajian Ilmu

BIOGRAFI IMAM GOZALI - 2

by MUHAMMAD YUSUF AIDID S.Pd

7 Pokok Tasawwuf Imam Ghazali

Jika dilakukan penelaahan secara sistematis dan terstruktur terhadap kitabIhya’ Ulum al-Din, maka akan ditemukan beberapa doktrin tasawuf pokok Imam al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan ma’rifat. Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep taubat, shabr, zuhud, tawakkal, dan ridha. Tak bisa seseorang mengaku bertauhid sekiranya seseorang masih menduakan Allah dengan yang lain; misalnya tak bertawakkal kepada Allah, tak rela terhadap keputusan Allah, tak sabar atas ujian yang diberikan Allah, tak bersykur atas nikmat yang diberikan Allah, tak menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh Allah. Tak bisa seseorang mengaku takut kepada Allah, jika yang bersangkutan masih takut kepada selain Allah.

Pertama,Tauhid. Secara  etimologis, tauhid adalah bentuk kata benda dari kata kerja “wahhada-yuwahhidu” yang berarti membuat sesuatu menjadi satu atau menyatakan kesatuan (ke-esa-an). Dalam Ilmu Kalam disebutkan bahwa tauhid berarti ikrar tentang tidak ada tuhan selain Allah. Dalam tasawuf, tauhid tak hanya merupakan ungkapan verbal tentang tidak adanya tuhan selain Allah, melainkan juga ungkapan hati tentang hakekat Tuhan Yang Satu. Al-Junaid al-Baghdadi menceritakan bahwa seorang ulama pernah ditanya tentang makna tauhid. Lalu ulama itu menjawab, tauhid adalah yakin. Penanya tersebut meminta agar sang ulama menjelaskan apa yang dimaksud dengan yakin itu. Ia menjelaskan, “pengetahuanmu bahwa gerak dan diam alam raya adalah pekerjaan Allah. Tak ada sekutu bagi-Nya. Apabila engkau melakukan (meyakini) itu, maka engkau telah meng-Esa-kan-Nya. Dalam kitab al-Rasa’il, al-Junaid menegaskan, “ketahuilah bahwa permulaan ibadah kepada Allah adalah mengenal-Nya (ma’rifatullah). Sementara pokok ma’rifatullah adalah bertauhid kepada-Nya”.

Imam Ghazali menegaskan bahwa tanda bertumbuhnya tauhid di dalam hati adalah munculnya sikap tawakkal kepada Allah, yaitu menyerahkan segala urusan diri sendiri hanya kepada Allah. Imam Ghazali membagi tawakkal ke dalam tiga tingakatan. [a]. menyerahkan segala urusan kepada Allah, seperti penyerahan seseorang yang mewakilkan kepada pihak yang mewakili; [b]. segala urusan kepada Allah, seperti kepasrahan seorang anak kecil kepada ibunya. Si anak kecil hanya  mengenal dan menyandarkan segala keadaan dirinya hanya pada ibundanya. Ia hanya meminta pada ibundanya. Bahkan, seorang ibu kerap memberikan susu sekalipun si kecil tak memintanya; [c]. menyerahkan segala gerak dan diam kepada Allah seperti gerak dan diam seorang jenazah di depan orang yang memandikan. Orang yang berada pada peringkat yang terakhir ini memandang dirinya sudah mati dan yang menggerakkan adalah Allah. Menurut Imam Ghazali, tawakkal peringkat pertama sangat mungkin terjadi, sementara peringkat kedua dan ketiga amat jarang terjadi.

Menurut Imam Ghazali, bagaimana seseorang mengaku bertauhid kalau yang bersangkutan masih percaya pada kekuatan lain di luar kekuatan Allah. Dengan tauhid dalam hati, demikian Imam Ghazali, akan muncul kesadaran bahwa tidak ada yang aktif bekerja selain Allah (la fa’ila illa Allah). Segala makhluk-alam raya ini muncul dari Dzat Yang Maha Pencipta. Jika kesadaran tauhid itu menguat, maka seseorang takut dan berharap hanya kepada Allah bukan kepada yang lain. Ia mengkritik seseorang yang berharap tumbuhnya tanaman pada hujan, berharap turunnya hujan pada awan, berharap bergeraknya bahtera pada angin. Imam Ghazali menyebut hal itu sebagai syirik dalam bertauhid dan sebagai wujud ketidak-tahuan tentang hakekat sesuatu (wa hadza kulluhu syirk fi al-tauhid wa jahl bi haqa’iq al-umur).

Imam Ghazali berpendirian bahwa tauhid adalah pangkal atau dasar dari seluruh doktrin dan ajaran tasawuf. Bagi Imam Ghazali, bahasan tauhid adalah lautan yang tak bertepi (bahr la sahila lahu). Untuk memudahkan, Imam Ghazali membagi tauhid ke dalam empat peringkat. [1]. Orang yang lisannya mengucapkan la ilaha illa Allah tapi hatinya melupakannya bahkan mengingkarinya. Iman yang seperti ini adalah keimanan yang pura-pura karena tak tembus ke dalam hati. Imam Ghazali menyebut ini sebagai tauhid orang-orang munafik. [2]. Kalimat tauhid yang diucapkan lisannya dibenarkan oleh hatinya. Pembenaran di hati ini menyelamatkan yang bersangkutan dari siksa di Akhirat. Inilah tauhid dan keyakinan orang awam. [3]. Melihat Tuhan Yang Satu pada segala sesuatu. Dengan perkataan lain, ia menyaksikan Allah ketika menyaksikan sesuatu. Inilah maqam al-muqarrabin (kedudukan orang-orang yang dekat kepada Allah). [4]. Bahwa wujud ini hanya satu, yaitu Allah (la yara fi al-wujud illa wahidan). Dalam peringkat ini, seseorang sudah tak melihat dirinya karena yang terlihat hanya Allah. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai al-fana’ fi al-tauhid. Menurut Imam Ghazali, tauhid keempat ini sebagai tauhid puncak yang diintroduksi Husain ibn al-Manshur al-Hallaj.

Keduamakhafah(ketakutan). Khauf-khifah-Makhafah adalah kata benda Arab dari kata kerja khafa-yakhafu yang berarti takut. Takut kepada Allah bisa dialami oleh setiap manusia. Ketakutan itu terjadi, menurut Imam Ghazali, bisa karena melihat dan menyaksikan keagungan Allah SWT dan bisa juga karena banyaknya dosa yang dilakukan seorang hamba pada Tuhannya. Rasulullah SAW pernah bersabda, “aku adalah orang di antara kalian yang paling takut kepada Allah” (ana akhwafukum lillah). Rasulullah juga bersabda, “pangkal kebijaksanaan itu adalah takut kepada Allah” (ra’su al-hikmah makhafah Allah). Dzun Nun al-Mishri pernah ditanya, “kapan seorang hamba dikatakan takut kepada Allah?”. Ia menjawab, ketika hamba merasa seperti orang sakit yang takut akan berlangsung terusnya penyakit yang diderita oleh yang bersangkutan. Imam Ghazali menegaskan bahwa orang yang dilanda ketakutan akut pada Allah akan terlihat pada kondisi tubuh, aktivitas fisik, dan gerak hatinya. Tubuh orang yang hatinya terbakar (ihtiraq al-qalbi) karena takut pada Allah akan panas dan matanya menitikkan air mata. Bersamaan dengan itu, seluruh aktivitas fisik yang bersangkutan akan terhindar dari perbuatan dosa. Dosa-dosa yang suka dilakukan serta merta ia benci.

Dengan demikian, menurut Imam Ghazali, orang yang mengaku takut kepada Allah tapi anggota badannya bergelimang maksiat, tak bisa disebut khauf (la yastahiqqu an yusamma khaufan). Fudhail ibn Iyadh, sebagaimana dikutip Imam Ghazali, pernah berkata, “jika ditanya kepadamu apakah anda takut kepada Allah?”. Fudhail berkata, “diamlah, sebab jika kamu menjawab ‘tidak’, maka kamu kafir. Dan jika berkata ‘ya’, maka kamu bohong”. Ini menunjukkan bahwa takut kepada Allah harus proporsional. Itu sebabnya, Imam Ghazali menolak ketakutan kepada Allah yang mengakibatkan hilangnya akal (zawal al-‘aql). Imam Ghazali mengutip Sahl yang berkata, “jagalah akal budimu karena tak ada seorang wali Allah yang kurang akal” [ihfadhu ‘uqulakum fa innahu lam yakun lillahi ta’ala waliyyun naqish al-‘aql]. Dengan ini, Imam Ghazali mengimbau bahwa takut kepada Allah harus dalam ukuran wajar, tak boleh melampaui batas. Ia berkata bahwa takut kepada Allah yang melampaui batas adalah perbuatan tercela (madzmum).

Ketiga,ma’rifah. Secara etimologis, ma’rifah kata benda berasal dari kata kerja â€˜arafa-ya’rifuyang berarti mengetahui. Dengan demikian, ma’rifahberarti pengetahuan. Dalam ilmu tasawuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan yang tak mengenal keraguan, sebab yang menjadi obyeknya adalah Allah. Jika disebut ma’rifatullah, maka itu berarti pengetahuan tentang Allah. Sedangkan orang yang sudah mencapaima’rifah disebut â€˜arif. Kaum gnostik dalam tasawuf kerap disebut “al-‘arif billah” (orang yang mengetahui karena Allah). Menurut para sufi, alat untuk memperoleh ma’rifat disebut sir. Al-Junaid, sebagaimana dikutip Ibrahim Madzkur, membedakan antarama’rifah dan â€˜ilm. Menurut al-Junaid, jika â€˜ilm diperoleh melalui eksplorasi akal, maka ma’rifahdicapai melalui penyucian hati (qalb). Abad ketujuh Hijriyah Ibn Arabi juga berkata bahwa pengetahuan ada dua; pengetahuan yang diperoleh melalui penyerapan langsung (al-ma’rifah), dan pengetahuan yang bersifat diskursif yang diperoleh melalui akal pikiran (al-‘ilm).

Imam Ghazali berkata bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui soal-soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada [al-ithhila’ ‘ala asrar al-rububiyyah wa al-ilm bi tarattub al-umur al-ilahiyyah al-muhithah bi kulli al-mujudat]. Menurut Imam Ghazali, setiap ilmu adalah lezat dan kelezatan ilmu yang paling puncak adalah mengetahui Allah. Baginya, kelezatan ma’rifatullah(mengetahui Allah) jauh lebih kuat ketimbang jenis kelezatan lain. Menurut Imam Ghazali, orang yang sudah mencapai ma’rifah tak akan memanggil-manggil Allah dengan “ya Allah” atau “ya Rabb”, karena memanggil Tuhan dengan cara itu menunjukkan bahwa Tuhan itu jauh, berada di balik tabir. Imam Ghazali membuat sebuah tamsil, orang yang sedang duduk dekat di hadapan temannya tak akan memanggil temannya itu. Imam Ghazali berkata, “hal ra’ayta jalisan yunadi jalisahu”. Dengan perkataan lain, orang yang merasa tentang jauhnya Tuhan akan terus memanggil Tuhan. Sebaliknya, orang yang merasa kehadiran Tuhan dalam dirinya akan berbisik kepada-Nya dalam hening dan diam.

Menurut Imam Ghazali, ciri orang yang ma’rifatullah, di antaranya, adalah keinginan untuk terus berjumpa dengan-Nya, bukan dengan yang lain. Ia mengenal secara lebih dekat dengan membangun komunikasi yang intens dengan-Nya. Imam Ghazali lalu menyitir Rabi’ah yang menegaskan bahwa dirinya tak punya kecenderungan pada surga melainkan pada pemilik surga itu. Dan barangsiapa yang tak mengenal Allah di dunia, demikian Rabi’ah, maka ia tak akan melihat Allah di akhirat. Orang yang tak menemukan kelezatan ma’rifah di dunia, maka ia tak akan menjumpai kenikmatan melihat Tuhan di Akhirat, sebab sesuatu yang tak bersamanya ketika di dunia, maka di akhirat tak akan dijumpainya.

Keempatmahabbah.Secara etimologis, mahabbah yang berarti cinta adalah bentuk kata benda (bahasa Arab) dari kata kerja habba-yahibbu. Di samping menggunakan kata “mahabbah”, Imam Ghazali juga menggunakan kata “’isyq” yang berarti cinta dan rindu. Allah pun juga disebut sebagai “al-wadud” (Yang Mencinta dan Yang Dicinta). Imam Ghazali mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar metafisikal mahabbah. Misalnya Allah berfirman, “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya” (QS, al-Ma’idah [5]: 54). “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku dan Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian” (QS, Ali Imran [3]: 31). Rasulullah SAW pernah berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah kepadaku untuk mencintai-Mu, mencintai orang yang mencintai-Mu, mencintai sesuatu yang mendekatkan aku pada cinta-Mu..”.

Cinta adalah benih yang bisa tumbuh pada tanah yang subur. Imam Ghazali menyitir pernyataan al-Junaid, “Allah mengharamkan cinta bagi orang yang hatinya terkait erat dengan dunia” [harrama Allah Ta’ala al-Mahabbah ‘ala shahib al-‘alaqah]. Orang yang mencintai sesuatu akan khawatir akan hilangnya sesuatu itu. Karena itu, demikian Imam Ghazali, para pecinta selalu dilanda kekhawatiran perihal hilangnya yang dicintai. Tapi mencintai Allah beda. Jika kita mencintai Allah, maka Allah abadi. Dan jika mencintai harta dunia, maka itu semua akan sirna. Imam Ghazali menjelaskan sebab-sebab terjadinya cinta. [1]. Kecintaan seseorang pada dirinya atas kesempurnaannya. Artinya, jika seseorang tak mencintai Allah atau sesamanya, maka ia pasti akan mencintai dirinya sendiri; [2]. Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada dirinya; [3]. Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada seluruh manusia sekalipun tak berbuat baik untuk dirinya; [4]. Kecintaan seseorang pada segala sesuatu yang indah, baik keindahan itu secara lahir maupun secara bathin; [5]. Cinta yang melanda dua orang yang memiliki hubungan dan keterkaitan batin. Dari semuanya itu, menurut Imam Ghazali, yang paling pantas dan berhak untuk dicintai adalah Allah SWT. 

Persoalannya, bagaimana mengubah cinta ego pada diri sendiri menjadi cinta kepada Allah? Tak ada mekanisme dan tata cara tunggal. Imam Ghazali hanya mengutip dialog Sufyan al-Tsauri dengan Rabi’ah al-Adawiyah. Al-Tsauri berkata kepada Rabi’ah, “apa hakekat imanmu?” Ia menjawab, “saya tak menyembah kepada Allah karena takut pada neraka dan senang pada surga. Sebab, kalau begitu, maka saya akan seperti seorang buruh yang hanya menunggu upah dari majikan. Aku menyembah Allah atas dasar cinta dan rindu kepada-Nya”. Imam Ghazali mengutip Rabi’ah al-Adawiyah ketika ditanya tentang cintanya kepada Rasulullah SAW. Rabi’ah menjawab, “demi Allah, aku sangat mencintainya. Tapi, kecintaan pada Allah telah menyibukkanku sehingga tak tersisa ruang untuk mencintai makhluk-Nya” [wallahi inni lauhibbuhu hubban syadidan wa lakin hubb al-khaliq syaghalani ‘an hubb al-makhluqin]. Suatu hari Rabi’ah berkata, “siapakah yang bisa menunjukkan aku pada kekasihku?”. Perempuan pembantu Rabi’ah berkata, “kekasih kita sedang bersama kita tapi dipisahkan oleh urusan dunia”. Dengan itu, Rabi’ah menutup diri dari kehidupan publik dan hidup membujang. Rabiah menikmati kesendiriannya bersama Allah dan ia bahagia dalam kesendirian itu. Kehidupannya diisi dengan pujian kepada Allah SWT yang sangat dicintainya.

8. Safar Imam Ghazali

            Bersafar bagi kaum sufi adalah wajib. Karena safar merupakan pencarian terhadap Tuhan semakin terasa. Artinya melalui perjalanan tersebut manusia menjadi tahu bagaimana menahan hawa nafsunya untuk mencapai tujuannya. Safar tersebut juga mencari arah diri dimana seseorang harus menghadap. Menghadap kepada realitas Tuhan (tawajuh) atau mengikuti keinginan (nafs). Seperti diungkap oleh tarekat Naqsyabandiah bahwa Safar dar Wathan bermakna melakukan perjalanan bathin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai mahluk mulia. Atau maknanya ialah berpindah dari dari sifat-sifat rendah kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji.

            Tepat berumur 29 tahun, Imam Ghazali pergi ke Yerusalem dan berziarah ke tempat kelahiran Yesus. Pilihan ia kesana dalam rangka mendapatkan pelajaran kesabaran Nabi Isa ketika ditimpa cela dari rakyatnya. Dimana dahulu ia pernah di cap sebagai anak haram. Dari nilai-nilai kesabaran dan ketawakalan nabi Isa, ia belajar untuk memposisikan diri sebagai diri Nabi Isa. Disitu, Ghazali merenung bahwa belajar kesabaran dari nabi Isa belum cukup. Lalu ia memtuskan untuk berziarah ke makam nabi Ibrahim dalam rangka belajar dari kehidupan Ibrahim As.

            Al-Ghazali menuju makam Ibrahim As. bukan tanpa sebab. Alasannya yaitu Ibrahim sebagai khalillullah berjuang untuk mencari Tuhan sejatinya. Pencarian terhadap Tuhan merupakan satu usaha di dalam meraih makrifatnya. Ungkapan tajam al-Ghazali tentang makrifatullah : “Kenikmatan mengenal dan mengetahui Allah, menangkap keindahan Hadirat Ketuhanan, dan menatap Rahasia ilahiyah jelas lebih memuaskan lagi dibandingkan dengan kenikmatan menjadi pemimpin yang dalam konteks kehidupan mahluk merupakan kenikmatan tertinggi.

Tepat pada tanggal 499 H, ia bersumpah di depan makanm nabi Ibrahim As. Sumpahnya mengandung arti bahwa tawakal dan berserah diri kepada Tuhanadalah jalan yang harus ditempuh di dalam membersihkan bathin yang sudah tercemarkan oleh rayuan dunia. Sumpah tersebut antara lain :

1.      Tidak akan pergi ke Darbar penguasa

2.      Tidak akan pernah menerima pemberian dari penguasa

3.      Tidak akan melibatkan diri di dalam perdebatan agama

Dari sumpah-sumpah tersebut terlihat bahwa al-Ghazali tidak akan menjadi budak bagi penguasa. Segala yang diinginkan penguasa biasanya lahir karena untuk menguntungkan dirinya. Disini Abu Hamid al-Ghazali ingin menjadi pelayan Tuhan di dalam setiap waktu. Selain itu pesan terakhir bahwa al-Ghazali menghindarkan perdebatan karena perdebatan biasanya bukan untuk mencari kebenaran yang objektif, malahan perdebatan berujung kepada pembenaran terhadap argumentasi seseorang.

            Selanjutnya al-Ghazali menuju ke Makkah menunaikan rukun Islam ke-5 dan menetap cukup lama di Madinah yang notabene kota Nabi Muhammad. Ketika ia selesai dari kota Haramain, ia diminta oleh penguasa untuk menerima kedudukan sebagai rector Madrasah Nizamiyah. Tanpa pikir panjang ia menerimanya dengan Ikhlas. Di dalam pengajarannya kala itu, ia mencoba menulis satu kitab ilmiyah yaitu Ihya Ulumuddin.

            Sewaktu penguasa itu dibunuh, Al-Ghazali melepaskan jabatan tersebut lalu pergi ke Thus lalu mengucilkan diri di sebuah Khanqah. Di dalam kesendiriannya ia tetap menjadi manusia produktif dengan pena ditangannya. Hal itu karena ingin menyelesaikan Ihya Ulumudin. Disela-sela penulisannya, ia diminta kembali untuk menjadi rektor. Tetapi kali ini dia menolaknya, karena menurutnya menulis karya jauh lebih baik daripada menduduki satu jabatan penting.

9. Ihya Ulumuddin Karya Fenomenal Imam Ghazali

            Al-Ghazali meninggalkan pusaka yang tak dilupakan oleh umat muslim khususnya di dunia yaitu Ihya Ulumuddin. Di dalam kitab ini, al-Ghazali mendamaikan tasawuf dengan praktik-praktik non-ortodoks, mendamaikan dengan Islam, dan membersihkan mistisme dari intelektualisme.

            Dalam kalangan agama, Ihya Ulumuddin merupakan kitab yang komperhensif. Di dalam kitab tersebut membuat tentang unsure tasawuf dan fiqh. Ihya Ulumuddin bila diterjemahkan  di dalam bahasa Indonesia yaitu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Banyak kalangan pesantren di Indonesia mempelajari Ihya Ulumuddin untuk menghidupkan sunnah rasul. Selain itu di dalamnya terdapat aspek-aspek legalitas seperti rukun dan syarat ibadah-ibadah yang sesuai dengan syariat. Imam Ghazali melihatnya dari sudut spiritualnya (asrar al-ibadah). Demikian komplitnya pembahasan Imam Ghazali dalam kitab ini hingga Ibn al-Najjar berkata bahwa apa yang ditulis Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddinmerupakan ilham dari Allah atau buah dari ma’rifat yang dianugerahkan Allah kepada yang bersangkutan selama menjalani kehidupan sufi (anna ma hadatsa bihi al-Ghazali fi Baghdad min kitab Ihya’ Ulum al-Din kana ilhaman aw kana tsamratan min tsamaratin al-ma’rifah allati afadhaha Allah ‘alaihi fi marhalah nusukihi wa tashawwufihi). Apa yang dikemukakan Ibn al-Najjar tersebut sebagai bukti kekaguman yang bersangkutan terhadap karya agung Imam Ghazali ini.

 Abu al-Ghafar Farsi, yang hidup sezaman dengan Imam al-Ghazali mengatakan bahwa buku atau kitab Ihya belum pernah disusun sebelumnya. Imam Nudi berkata, “Mutu Ihya mendekati Al-Quran.” Syekh Abu Muhammad berkata, “Jika semua cahaya ilmu lenyap, maka mereka dapat menyalakan kembali dengan Ihya.” Syekh Abdullah Idris, seorang ulama-wali terkemuka pada zamannya, menyimpan memori kuat atas setiap bagian dari Ihya. Syekh Ali menghatamkan Ihya sebanyak 25 kali dan setiap khataman ia memberi makan kepada ibnu sabil dan orang miskin. Banyak murid Imam al-ghazali mencoba mengingat bahkan menghafalkan Ihya. Banyak ahli hikmah dan orang bijak menganggap kitab ini merupakan hasil dari ilham atau inspirasi.

Dari kisah-kisah tersebut mengandung makna bahwa Ihya Ulumuddin merupakan karya yang representatif. Dimana di dalamnya terdapat kata-kata yang logis dan objektif bila memandang satu permaslahan pada agama. Sebagaimana pada referensial teori pada ilmu semantik. Teori ini mengatakan bahwa kebenaran makna dari sebuah ungkapan dan pernyataan terletak pada ketepatan relasi antara proposisi dan objek yang ditunjuk.

Para fukaha menilai buku ini hampir mendekati kedudukan al-Quran. Jika, semua kitab yang dikarang tentang Islam dimusnahkan sehingga tertinggal hanya kitab Ihya, maka manusia telah mendapatkan ganti dari semua kitab yang hilang. Dari peryataan seperti itu, maka Imam Ghazali dijuluki Hujjatul Islam.

10. Wafatnya Imam Ghazali

            Imam al-Ghazali wafat pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir tahun 505 H bertepatan 19 Desember 1111 M. dalam usia 55 Tahun. Ia wafat di desa asalnya, Taberan, Persia. Ibnu Jauzi menceritakan kisah kematiannya. Ia berkata bahwa ketika fajar pada hari tersebut terbit, beliau segera mengambil air wudhu. Setelah itubeliau beliau meminta kain kafan, lalu berkata: Aku telah siap memenuhi panggilan-Mu dengan penuh ketaatan. Beliau kemudian membujurkan kedua kakinya dengan menghadap kearah kiblat, terus menghembuskan nafas terakhirnya.

 

 

 

Daftar Pustaka

Buku

 

al-Ghazali, Imam. 2005.Rindu Tanpa Akhir. Jakarta: Serambi.

Amstrong,Karen. 2009.  Sejarah Tuhan.  Jakarta: Mizan

As-Sarraj, Abu Nashr 2014. Al-Luma Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti.

 Freely, John. 2011. Cahaya dari Timur. Jakarta: Elex Media Komputindo,

Ghazali, Imam.  Bidayah al-hidayah, Surabaya: al-hidayah. 1418 H

Ghazali, Imam. 1964.Ihya Ulumuddin penerjemah Ismail Yakub. Jakarta: CV Faizan,

Ghazali, Imam. 2011, Keajaiban Hati.Jakarta: Khatulistiwa Press.

 Ghazali,Imam.2009.   Ihya Ulumuddin Jilid 1 penerjemah Purwanto.Bandung: Marja

Hidayat, Komaruddin. 2003, Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Mizan, hlm.121

Husayn Ahmad Amin, 1997.Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Jakarta: Rosnida.

K. Hitti, Philip. 2007. History Of The Arabs. Jakarta: Serambi.

Mulyati, Sri (et.al).2004. Tarekat-tarekat Muktabarah. Jakarta: Kencana,.

Nasution, Harun. 1978Falsafat &Mistisisme dalam Islam.Jakarta: Bulan Bintang,

Shadily, Hassan. 1959. (et,al). Ensklopedia Jilid 2.Jakarta: Ikhtiyar Baru

Wiston, James.  2002, Sufi-sufi Merajut Peradaban. Jakarta: Forum Sebangsa

Yunus, Mahmud. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah.

Website:

 

http://digilib.uin-suka.ac.id/3912/2/BAB%20II,III,IV

http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1881&cat=content&cid=11&title=tasawuf-al-ghazali-dan-relevansinya-dalamkonteks-sekarang