Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid

Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.

Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.

Naskah Umum

INGIN MENINGKATKAN KUALITAS PUASA, IKUTI ADAB MENURUT PARA SUFI INI

by Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd.,M.Si

Ramadhan merupakan bulan yang sangat ditunggu oleh Umat Muslim. Banyak julukan (laqab) untuk bulan tersebut diantaranya bulan rahmah, bulan magfirah (bulan pengampunan), dan bulan barakah (bulan keberkahan). Syekh Abdul Qadir al-Jilani berkata, “Sebagian ahli hikmah memberikan definisi tentang Ramadhan, dinamakan Ramadhan itu karena bahwa bulan tersebut melelehkan dosa-dosa atau dengan kata lain bulan yang menghancurkan dosa-dosa.”

Definisi di atas mengisyaratkan ada rahasia-rahasia pada bulan yang penuh barakah tersebut. Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad memberikan satu perspektif bahwa Ramadhan merupakan bulan yang agung nilainya dan kedudukannya di sisi Allah dan Rasul-Nya. Ramadhan juga dimaknai penghulunya bulan-bulan maka dari itu Allah mewajibkan berpuasa pada umat muslim. Sebagaimana Allah telah berfirman di dalam surat al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Namun seorang yang bertaqwa dalam menunaikan ibadah puasa harus dengan adab-adab sebagai sahnya melakukan ibadah tersebut. Syekh Abu Nashr al-Sarraj berkata, “Sahnya puasa dan baiknya adab seseorang dalam berpuasa sangat bergantung pada sah (benar)nya tujuan seseorang, menghindari kesenangan nafsu (Syahwat)nya, menjaga anggota badannya, bersih makanannya, menjaga hatinya, selalu mengingat Allah, tidak memikirkan rezeki yang telah dijamin Allah, tidak melihat puasa yang ia lakukan, takut atas tindakannya yang ceroboh dan memohon bantuan kepada Allah untuk bisa menunaikan puasanya. Maka inilah adab orang yang berpuasa.”

Imam Ghazali berkata, “Adab-adab berpuasa yaitu mengatur pola makan, meninggalkan perdebatan, menjauhi ghibah, menolak kebohongan, meninggalkan keburukan, menjaga anggota tubuh dari hal-hal yang kurang baik.”

Pernyataan dari kedua sufi di atas bisa diambil satu kesimpulan bahwa ada perbedaan antara puasa orang awam dan puasa orang yang bertakwa. Jika puasanya orang awam hanya sekedar menahan lapar dan haus dari terbit fajar hingga waktu maghrib datang. Sedangkan orang yang bertakwa, ia memperhatikan adab-adab berpuasa di dalam menunaikan ibadah tersebut. Sehingga kualitas keimanan seseorang yang bertakwa akan lebih terlihat ketika sehabis Ramadhan.

Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar mencatatkan bahwa “Ada empat yang diharamkan dari ampunan Allah selama bulan Ramadhan yaitu melawan kedua orangtua, memutus silaturahmi, berdebat, dan menenggak minuman keras.”

Sebagaimana Rasul bersabda, “Jibril berkata barangsiapa yang mendapati Ramadhan akan tetapi tidak diperolehnya ampunan untuknya maka Allah menjauh darinya, katakanlah (Muhammad): amiin, maka aku katakan: amiin. Kemudian Jibril berkata lagi, barangsiapa yang disebutkan namamu disisinya akan tetapi ia tidak bershalawat untuk kamu maka Allah akan menjauh darinya, katakanlah (Muhammad): amiin, maka  aku katakan: amiin. Lalu Jibril berkata lagi, barangsiapa yang mendapati orangtuanya ketika dalam keadaan renta, atau satu diantara mereka, lalu mereka keduanya tidak memasukkannya ke dalam syurga (karena kedurhakaannya), maka Allah menjauh darinya, katakanlah (Muhammad): amiin, maka aku katakan: amiin. (HR. Bukhari)

Di dalam kitab al-Luma fi al-Tarikh al-Tasawuf al-Islami, Syekh Abu Nashr al-Sarraj mengkisahkan bahwa Sahl bin Abdullah al-Tustari Rahimakumullah, bahwa ia makan hanya sekali saja pada setiap lima belas hari di luar Ramadhan. Jika bulan Ramadhan tiba maka ia hanya makan sekali dalam satu bulan. Kemudian saya (Sahl al-Tustari) menanyakan hal tersebut kepada sebagian guru-guru sufi. Maka ia menjawab, Setiap malam ia hanya berbuka dengan air putih saja”.

Melalui adab-adab puasa sufi di atas memberikan gambaran bahwa Rasulullah juga berpuasa dalam keadaan yang demikian pula. Sebab keilmuan seorang sufi bersanad kepada Rasullulah. Sehingga apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah menjadi kewajiban bagi sufi untuk melaksanakannya.