Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid
Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.
Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.
Artikel Islami
LUAR BATANG,PEMUKIMAN TERTUA DI JAKARTA
by ALWI SHAHAB
Di belakang Gedung Museum Bahari, jalan Pasar Ikan sebuah kawasan kota tua di Jakarta utara, terletak Kampung Luar Batang. Kampung yang terletak di Kelurahan Penjaringan ini merupakan pemukiman tertua di Jakarta. Diperkirakan, pemukiman ini mulai dibangun pada tahun 1630-an. Kampung ini boleh dikatakan sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Di Kampung ini terletak sebuah masjid tua, yang banyak didatangi pengunjung bukan hanya dari Jakarta, tapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam Masjid Luar Batang ini terdapat makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. Ia dimakamkan di Masjid ini pada hari Kamis 27 Ramadhan 1169 Hijriah atau 24 Juni 1756. Ia dikabarkan meninggal dunia ketika masih bujangan.
Mendatangi Masjid Luar Batang pada malam Jum'at kita akan mendapati ribuan peziarah, baik pria maupun wanita yang datang dari berbagai tempat di Jawa dan Sumatera. Ini terlihat dari nomor polisi mobil-mobil yang diparkir di pintu gerbang depan Museum Bahari. Banyak di antara pengunjung yang berziarah hingga pagi.
Sepanjang malam para peziarah membaca Al-Qur'an di depan makam Almarhum. Karenanya tidak heran bila shalat shubuh di hari Jum'at Jama'ah meluber hingga pekarangan masjid. Menurut seorang kuncen disini, para peziarah juga ada yang datang dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Keberadaan makam ini memang menarik perhatian para wisatawan yang ingin menyaksikan tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jaringan televisi dari Yaman pernah mendatanginya.
Di Abad ke-17 tidak lama setelah berdirinya VOC pemukiman ini merupakan tempat persinggahan sementara para awak (tukang perahu) pribumi yang ingin masuk Pelabuhan Batavia (Sunda Kelapa). Ketika itu, penguasa VOC menerapkan peraturan yang tidak mengizikan perahu-perahu pribumi masuk alur Pelabuhan pada malam hari. Demikian juga tidak boleh keluar pelabuhan di waktu yang sama.
Selain itu, seluruh perahu yang keluar masuk harus melalui pos pemeriksaan. Pos ini terletak di mulut alur pelabuhan dan di sini diletakkan batang (kayu) yang melintangi sungai guna menghadapi perahu-perahu keluar masuk pelabuhan sebelum diproses. Setiap perahu pribumi yang akan masuk diperiksa barang muatannya, dan senjata-senjata yang dibawa harus dititipkan di pos penjagaan. Sedangkan perahu-perahu pribumi yang tidak bisa masuk pelabuhan, di luar batang (pos pemeriksaan) harus menunggu pagi hari. Ada kalanya mereka menunggu beberapa hari sampai ada izin masuk pelabuhan.
Selama menunggu, sebagian awak perahu turun kedarat. Kemudian mereka membangun pondok-pondok sementara. Lambat laun tempat ini dinamakan Kampung Luar Batang - yakni pemukiman yang berada di luar pos pemeriksaan. Sekita 1660-an VOC mendatangkan para nelayan dari Jawa Timur dan ditempatkan di lokasi pemukiman Luar Batang. Pemimpin dari nelayan tersebut pada 1677 dianugerahi pangkat kehormatan Luitenant (letnan). Pemimpin itu bernama Bagus Karta.
Lokasi pemukiman Luar Batang dulunya merupakan rawa-rawa. Lama kelamaan rawa-rawa itu tertimbun lumpur dari kali Ciliwung, terutama setelah dibangunnya Kampung Muara Baru, yang kini juga merupakan kawasan kumuh di dekat Luar batang.
Sejak masa VOC, pihak penguasa sering mendatangkan tenaga kerja guna membangun pelabuhan dan kastil Batavia. Para pekerja di lokasi itu berdatangkan dari berbagai daerah. Mereka juga ditempatkan di Kampung Luar Batang. Jadi, kekumuhan pemukiman tertua di Jakarta yang luasnya 16,5 hektar itu sudah berlangsung sejak awal masa VOC. Pasar yang ada kala itu dan kini dikenal dengan nama Pasar Ikan baru dibangun pada tahun 1846. Lokasi Pasar Ikan ini dulunya merupakan laut.
Suatu malapetaka terjadi saat pembangunan dermaga di pelabuhan Batavia (Sunda Kelapa). Kurang lebih 16 ribu pekerja meninggal dunia akibat penyakit menular yang terjadi akibat tingkat kekumuhan areal pemukiman yang melewati ambang batas. Warga Belada sendiri pada pada awal abad ke-19 itu telah meninggalkan kawasan Pasar ikan karena dianggap merupakan daerah tidak sehat dan sering menimbulkan penyakit mematikan.
Ketika aktivitas utama pelabuhan Sunda Kelapa akibat pengdangkalan dialihkan ke Tanjung Priok (1886), lokasi sekitar pemukiman Luar Batang tetap padat. Hal ini dikarenakan aktivitas perahu dan pelabuhan Pasar Ikan (Sunda Kelapa) tetap berjalan. Saat ini, Kampung Luar Batang penduduknya sangat padat karena lokasinya berdekatan dengan berbagai pusat akivitas.
Kondisinya semakin kumuh ketika urbanisasi besar-besaran terjadi pada 1950-1960, akibat terganggunya keamanan. Dalam periode itu terjadi beberapa pemberontakan seperti DI/TII dan Kahar Muzakar.
Sementara habib Husein yang menjadi guru Agama di Masjid yang kala itu letaknya berdekatan dengan benteng VOC merupakan imigran dari Hadhramaut. Ia adalah pendatang lebih awal, sebelum para pendatang keturunan Arab lainnya kemudian ditempatkan di Kampung Pekojan, Jakarta Barat. Jarak antara Pasar Ikan dan Pekojan sekitar 3 km.
Oleh Alwi Shahab
Dikutip dari Buku Saudagar Baghdad dari Betawi.