Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid
Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.
Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.
Naskah Umum
ORANG TUA, SUDAHKAH KITA TUNAIKAN KEWAJIBAN
by NADIAH ALWI AIDID
Menjadi orang tua, kini saya melihat dengan kacamata berbeda setiap tindakan orang tua saya terhadap saya. Jika dulu saya melihatnya sebagai beban dan hal yang tidak menyenangkan, sekarang Alhamdulillah, saya justru berterima kasih kepada mereka.
Di antaranya adalah berbagai keharusan dan larangan yang ditetapkan oleh papa saya saat kami--saya dan adik-adik--masih kecil.
Papa tipe orang tua yang sebenarnya tidak terlalu menuntut anak harus begini-begitu. Tapi jika sudah berhubungan dengan agama, Papa tidak pernah tinggal diam. Yang tak saya lupakan adalah saat saya mengenakan rok yang agak pendek ketika berusia delapan tahun saat kami hendak bepergian. Papa langsung menyuruh saya ganti baju. Kebetulan itu baju baru dan saya sedang senang-senangnya memakai, saya menolak. Papa langsung mengultimatum, tidak jadi pergi jika saya tetap ingin memakai baju itu. Akhirnya dengan menggerutu, saya mengalah dan mengganti baju.
Dulu saya bersekolah di SD Muhammadiyah dekat rumah. Tampaknya sengaja dipilih karena memiliki muatan agama. Di samping itu, seminggu tiga kali saya dibuang mengaji ke TPA dekat rumah. Tapi, apakah kemudian papa melepaskan begitu saya pendidikan agama saya kepada sekolah dan TPA? Alhamdulillah, tidak.
Seminggu tiga kali pula saya dan adik-adik harus mengaji dengan Papa. Papa pulang kerja jam setengah enam. Mandi, makan, lalu sholat Maghrib berjamma'ah di Mushalla di depan rumah kami. Dan, tak lama kemudian, sudah duduk di atas hambal lengkap dengan Al-Qur'an dan lekarnya, menunggu kedua anaknya--saya dan adik saya yang kedua, karena adik bungsu saya belum lahir saat itu.
Lalu, kami diminta melanjutkan bacaan kami secara bergiliran. Sambil menunggu giliran, kami diminta melatih bacaan. Diawali dengan Juz 'Ama. Jika sudah khatam Juz 'Ama, boleh melanjutkan ke Al-Qur'an. Papa sangat memperhatikan bacaan kami, panjang-pendeknya, tajwidnya, hingga pelafalan huruf yang benar. Kalau salah tidak dimarahi, cukup diminta mengulang hingga benar.
Kadang kala, Papa juga mengetes sholat kami. Kami diminta sholat di hadapannya, dengan bersuara. Papa membetulkan bacaan dan gerakan sholat kami.
Kami juga boleh bertanya apa saja seputar agama dan hal lainnya setelah selesai mengaji, sambil menunggu adzan Isya. Kalau tidak ada pertanyaan, kadang Papa mengajarkan kami berbagai hal, terutama pelajaran akhlak.
Kegiatan ini kami lakukan semenjak SD hingga bangku SMP. Di bangku SMA, Papa sepertinya beranggapan bahwa kami sudah cukup dewasa untuk membaca Al-Qur'an sendiri. Mungkin juga karena Papa menilai kami sudah mampu membaca dengan baik dan sholat dengan benar.
Acara mengaji ini berlanjut hingga adik saya yang bungsu, si Ucup--meski usia kami terpaut sepuluh tahun. Tapi, sepertinya di pertengahan bangku SMP, ia sudah dilepas Papa. Mungkin Ucup adalah 'murid' tersukses Papa. :)
Dulu, saya menganggap kegiatan itu beban untuk kami, anak-anak Papa. Di bangku SMP, saya pernah meminta pengurangan hari karena kegiatan saya di sekolah juga tak sedikit. Dikabulkan. Seminggu menjadi dua kali saja. Tapi, tak lama kemudian, berubah lagi menjadi tiga kali. Entah bagaimana ceritanya.
Sekarang, saya melihat kegiatan itu dengan kaca mata yang berbeda.
Hebat sekali Papa. Setelah seharian bekerja di kantor untuk menafkahi kami secara lahir, Papa masih menyempatkan diri menafkahi ruhani kami. Apakah tidak lelah? Bukankah justru Papa yang terbebani?
Tanpa menanyakannya langsung kepada Papa, saya tahu jawabannya. Papa sangat menyayangi kami. Papa ingin agar kami menjadi Muslim yang taat, menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah. Dengan ikhlas, Papa menunaikan kewajibannya sebagai orang tua. Bahkan dengan sangat baik, di mata kami, anak-anaknya, dan insya Allah di mata Sang Pencipta.
Meskipun dulu Papa tampak kaku dengan anak-anaknya, sehingga hubungan saya dengan Papa mungkin tak sedekat hubungan anak perempuan lainnya dengan ayah mereka--karena, katanya anak perempuan lebih dekat dengan ayahnya--toh saya dan Papa memiliki hubungan khusus. Hubungan yang tak semata duniawi, tapi hubungan yang bermakna bagi akhirat kami.
Papa tak memasrahkan ilmu agama kami di tangan guru dan ustadz di luar. Papa justru menjadi guru dan ustadz kami yang utama.
Sekarang, sebagai orang tua, saya sering tersentil dengan pengalaman masa kecil saya itu. Saya merasa belum bisa seperti Papa. Tapi insya Allah belum terlambat.
Karena, merupakan kewajiban kita sebagai orang tua untuk membekali anak dengan ilmu agama. Untuk kebaikan anak dan diri kita sendiri. Karena, nanti, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas anak-anak kita, bukan?
Penulis:
Nadiah Alwi Aidid, seorang penulis, penerjemah, editor, dan penggiat dunia maya (http://nadiahalwi.com/)