Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid
Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.
Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.
Artikel Islami
PROFIL SANG PRESIDEN SUBUH AL-HABIB ALI BIN ABDURRAHMAN ASSEGAF
by Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd.,M.Si
Jumat sore, 15 Januari 2021, tepatnya pukul 16:00 WIB, kabar duka menyelimuti tanah Betawi. Hal itu disebabkan oleh wafatnya seorang ulama Betawi yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada usia 77 tahun. Orang-orang Betawi menyematkan panggilan untuknya yaitu Sayyidil Walid yang secara etimologi tuannya bapak. Kenapa demikian? Karena sifat kebapakannya yang menonjol darinya; mengayomi, mencerahkan, menasehati, dan memotivasi baik dalam berdakwah ataupun bertemu dengan orang lain.
Sayyid Ali
lahir pada 22 April 1943. Ia merupakan putra ke-2 dari pasangan Wali Quthb
Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan Hj. Barkah binti Ahmad Fusani. Sedari
kecil ia telah diperkenalkan oleh ayahnya
kepada ulama-ulama solih. Pada tahun 50-an, ia di bawa oleh ayahandanya
ke Majelis Kwitang dengan menggunakan sepeda ontel. Ia dipakaikan oleh
ayahandanya pakaian yang sang rapi. Baju koko putih, jas, dan dilengkapi dengan
kopiah putih. Saat ia dan ayahnya sampai di Kwitang, ayahnya memintanya untuk cium
tangan Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi. Kala
itu ia disuruh cium bolak balik tangan sang Habib oleh Ayahnya. Kemudian Habib
Ali mendoakannya dengan doa yang panjang. Sohibul Kwitang itu berkata
pada sang Ayah, " Ya ( Habib ) Abdurrahman, walad engkau sama namanya
dengan saya punya nama, semoga apa yang Allah berikan pada saya, sama juga
Allah berikan kepadanya. " Sejak itulah ayahnya memberikan tarbiyah kepada
Sayyid Ali dengan tarbiyah nabawiah, pendidikan cara-cara nabi Muhammad.
Kegigihan Sayyidil Walid dalam belajar terlihat dari mudanya
hingga akhir hayatnya. Keluasan ilmunya terbukti karena pengalaman bergurunya kepada para habaib
dan mualim di dalam dan luar negeri. Guru-gurunya antara lain, Habib
Abdurrahman bin Ahmad Assegaf (ayahandanya), Habib Ali bin
Abdurrahman Al-Habsyi (sohibul Kwitang), Habib Ali bin Husein Alatas (sohibul
Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Singa Podium), Habib Soleh bin
Muksin Al-Hamid (sohibul Tanggul), Habib Abdullah Syami Alatas, Habib Muhammad
bin Ahmad Al-Haddad (Condet), Prof. Dr. KH Raden Abdullah bin Nuh
(Bogor), dan Mualim Ahmad Junaidi (Menteng Atas). Selain itu ia pernah mukim selama empat puluh
hari di Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki (Mekkah).
Sekitar tahun
1960-an, Sayyid Ali Assegaf muda melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Tatkala itu, ia kuliah di dua perguruan tinggi, yaitu IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) dan Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Bahkan, suatu ketika ia
mengikuti ujian hadis di IAIN, ia berani mengkoreksi dan mengkritik soal ujian
hadis yang ditulis oleh dosen tersebut di papan tulis. Sehingga dirinya
dipanggil ke ruangan dosen untuk mendapatkan percepatan kelulusan di perguruan
tinggi Islam itu.
Pada tahun 1976, Keilmuan Sayyid Ali muda diakui oleh gurunya Habib Ali bin
Husein Alatas. Adapun Sohibul Ta’jul Arasy menjulukinya dengan Allamah,
orang yang memiliki banyak ilmu. Ilmu-ilmu tersebut antara lain ilmu tafsir al-Quran, hadis,
fiqih, dan tasawuf. Saat itu pula
ia mendapatkan ijazah kitab An-Nasoih Ad-diniyah oleh gurunya tersebut. Di sisi lain ia
mendapatkan gelar Bahr al-Fahamah dari Prof. Dr. KH. Raden Abdullah bin Nuh
pada tahun 1978.
Kemahiran bahasa Arab Sayyid Ali semakin meningkat. Kondisi tersebut
diperoleh karena ia belajar bahasa Arab kontemporer dengan Habib Muhammad Asad
bin Syihab di tahun 1970-an. Ia belajar bahasa Arab jurnalistik dari
koran-koran dan majalah-majalah berbahasa Arab. Sehingga kecakapan bahasa
Arabnya setara dengan akademisi-akademisi Arab. Hal tersebut terlihat dari
struktur kalimat dan gaya bahasa Arabnya yang diucapkan mengikuti aturan baku
tata bahasa Arab meliputi ilmu sintaksis (nahwu), morfologi (sharf),
dan ilmu retorika bahasa Arab (balagah).
Berkah ilmu yang dimiliki, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf mengajar pada
umur 15 tahun di Assagofah Islamiyah, Bukit Duri (madrasah milik ayahandanya).
Selain itu ia pernah mengajar sekaligus menjadi kepala sekolah di Madrasah
Islamic Center Kwitang yang merupakan embrio dari Madrasah Unwanul Falah tahun
1972. Ia meminta beberapa pengajar Assagofah untuk mengajar di madrasah
tersebut diantaranya Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf, Mualim Ro’i, dan KH.
Zarkasyi.
Tehnik pengajarannya yang khas yaitu ia tidak mau berpindah dari satu bab
ke bab lain kecuali si murid telah menghafal dan memahami satu bab yang telah
diajarkannya. Artinya, kesabaran antara guru dan murid diperlukan pada sebuah
pembelajaran. Sayyidil Walid pernah berbicara kepada penulis, “Di zaman sekarang para pengajar agama di
sekolah hanya mengejar target kurikulum tanpa memandang sejauh mana murid bisa
mengerti dan memahami apa yang mereka pelajari. Sehingga banyak dari mereka
sekedar pernah belajar tentang bab itu.â€
Sayyidil
Walid membina dan membimbing
lebih dari dua puluh majelis taklim di JABODETABEK. Majelis utamanya yaitu di
rumahnya sendiri yaitu Al-Afaf, Tebet Utara. Majelis tersebut telah berdiri
kurang lebih dua puluh tujuh tahun lamanya. Majelis tersebut setiap sabtu
dimulai setelah shalat Ashar berjamaah yang diimami oleh Sayyidil Walid sendiri. Kemudian membaca wirdhu latif sebagai
zikir sore yang disusun oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Lalu beliau
membaca dan menerangkan kitab-kitab kuning yang berkenaan dengan tauhid, fiqih,
dan tasawuf.
Di samping itu, tokoh Betawi yang disegani semua kalangan tersebut juga
membuka majelis khusus para ustad di kediamannya pada hari Rabu pagi. Dua kitab
yang diajarkannya yaitu Ithafussadah
al-Muttaqiensyarah Ihya
Ulumuddin dan Fathul Bari syarah Sohih Bukhari. Karena prinsipnya,
seorang guru bukan hanya mengajar saja akan tetapi harus tetap belajar. Prinsipnya tersebut bersesuaian dengan long life education, pendidikan
sepanjang hidup.
Praktik long life education itu sendiri dijalani sampai masa
senjanya. Di tahun 2013-2015, Sayyidil
Walid berguru pada
ulama Timur Tengah melalui jaringan Skype dengan Al-Faqih Habib Abdullah bin
Soleh Ba’bud (Madinah, Saudi Arabia) dan Dr. Ismail Al-Mishri (Dosen Al-Azhar
Cabang Tonto Mesir). Bahkan, Dr. Ismail al-Mishri datang ke Jakarta mengunjungi
Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada tahun 2016. Keilmuannya diakui oleh
ulama Indonesia dan Timur Tengah, sebab itulah UIN Jakarta ingin sekali mempersembahkan
gelar Doktor Honouris
Causa kepadanya. Akan
tetapi beliau menolaknya.
Alm. KH.
Syaifuddin Amsir sangat menganggumi Sayyidil
Walid. Sehingga beliau menuturkan kepada Habib Ahmad bin Ali
Assegaf (anak dari Sayyidil
Walid), “Walidak
(ayahmu) itu Allamah, karena beliau mengajar Kitab Fathul Bari Ù Syarah
Kitab Sohih Bukhari. Dimana jarang para guru yang mengajarkan kitab tersebut.â€
Berdakwah dari
satu wilayah ke wilayah lainnya merupakan jalan yang juga ditempuh Sayyidil
Walid sebagai tongkat estafet dari dakwah para salafuna salihin. Dakwahnya yang
lembut dan santun terinspirasi oleh QS An-Nahl [16]:125:
ادْع٠إÙلَىٰ سَبÙيل٠رَبÙّكَ
بÙالْØÙكْمَة٠وَالْمَوْعÙظَة٠الْØَسَنَة٠ۖ وَجَادÙلْهÙمْ بÙالَّتÙÙŠ Ù‡ÙÙŠÙŽ Ø£ÙŽØْسَن٠ۚ
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Oleh karena itu ia juga dijuluki da’i
ilawlah, karena mengajak ke jalan Allah dengan cara-cara Nabi
Muhammad. Perjalanan dakwahnya diiringi sikap jabar
khatir. Apa itu jabar
khatir? Sikap dimana mau menyenangkan dan menggembirakan orang
lain. Sehingga, dimana tempat yang mengundang beliau pasti ia datangi tanpa
memilah dan memilih antara si kaya dan si miskin. Apalagi jika muridnya yang
mengundang maka ia mendahulukan dari undangan-undangan lainnya.
Panutan Betawi tersebut juga membuka Majelis Nahwu dan Shorof setiap Senin
dan Jumat selepas shalat Maghrib di rumahnya. Ia mendatangkan pengajar Timur
Tengah, diantaranya Syekh Busyiri Abdul Mu’thi (Mesir), Syekh Mahdi Al-Misri
(Mesir), dan Syekh Muhammad Al-Busyiri Al-Yamani (Yaman) untuk mengajarkan
dasar-dasar bahasa Arab tersebut kepada remaja-remaja, pemuda-pemuda, hingga
orang tua. Akan tetapi pada tahun 2010 akhir, beliau sendiri yang memutuskan
untuk mengajarnya di majelis tersebut. Ia sempat menuturkan bahwa Bahasa Arab
merupakan modal yang harus dimiliki seorang yang ingin menjadi da’i dan guru
agama.
Presiden Subuh, julukan lain dari Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Sebab
ia pencetus dan pelopor dari gerakan shalat subuh berjamaah di Jakarta.
Sebagaimana Rasul bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh secara berjamaah
maka seolah-olah ia shalat semalam suntukâ€. Rasul juga bersabda, “Seorang muslim yang shalat subuh berjamaah di
masjid, setelah itu ia berzikir kepada Allah sampai datang waktu israq, maka
sesungguhnya ia mendapatkan pahala haji dan umroh yang sempurna.â€
Gerakan Shalat
Subuh Berjamaah pertama kali diresmikan Habib Ali bersama BJ. Habibie pada tahun
1998 di Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada masa itu merupakan masa transisi
pemerintahan BJ. Habibie di Indonesia. Kala itu
shalat subuh berjamaah diikuti oleh presiden BJ. Habibie, para pejabat lainnya,
serta berbagai elemen masyarakat. Selepas acara
tersebut, masing-masing kecamatan di DKI Jakarta membentuk koordinator sholat
subuh gabungan.
Perlu
diketahui pula, rutinitas tahunan Habib Ali yaitu mengajak jamaah dan para
pecintanya untuk melakukan ziarah qubro ke maqam wali-wali Allah di Jabodetabek.
Maqam-maqam tersebut diantaranya Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang),
Habib Husein bin Abubakar Alaydrus (Luar Batang), Habib Muhammad bin Umar
al-Qudsi, Habib Ali bin Abdurrahman Ba’alawi, Habib Abdurrahman bin Alwi
As-Syatiri (Kampung Bandan), Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad (Tanjung
Priok), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas, Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir
Al-Haddad (Empang Bogor), Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf
(Lalongok). Beliau melakukan bersama mereka biasanya di bulan Sya’ban.
Rutinitas tersebut dilakukan dalam rangka menyambung silaturahmi dengan
wali-wali Allah dan bertawasul memohon keselamatan selama menjalani puasa dan
ibadah di bulan Ramadhan.
Kini Sang
Presiden Subuh, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf telah berpulang ke
Rahmatullah. Kepergiaannya ditangisi oleh murid-muridnya, jamaahnya, dan para
pecintanya. Namun sebelum kepergiannya meninggalkan pesan-pesan yang amat
berharga untuk umat Islam di Indonesia. “Suatu
saat saya tidak ada, saudara….. saya wasiatkan jangan tinggalkan majelis
taklim, saudara akan kembali kepada Allah. Saya lebih dahulu atau saudara yang
lebih dahulu, yang pasti kita akan kembali semuanya, Innalillahi wa innailahi
raji’un.â€