Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid

Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.

Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.

Artikel Islami

ORANG BETAWI NYAMBUT PUASA

by Alwi Shahab

ORANG BETAWI NYAMBUT PUASA

            Bagi warga Betawi, bulan suci Ramadhan sangat mereka nantikan. Sehari menjelang Ramadhan terlihat kesibukan luar biasa di rumah-rumah. Ibu-ibu belanja lebih banyak ketimbang hari biasa untuk menyiapkan makan sahur. Sedang pasar-pasar diserbu para pembeli. Di tempo doeloe , ada sesuatu keistimewaan dalam menyambut Ramadhan yang kini sudah hampir tidak terdapat lagi.

            Saat itu, di sore hari getek-getek di tepi sungai-sungai terlihat para ibu, khususnya gadis-gadis tengah keramas. Dengan bekemben kain batik mereka mandi dan menyiram seluruh tubuh. Kalau sekarang digunakan shampo untuk mencuci rambut. Dulu, untuk keramas digunakan merang, yakni kulit gabah yang dibakar kemudian dicampur dengan buah rek-rek. Buah berbusa yang umumnya digunakan untuk menyepu perhiasan : emas dan perak agar mengkilat kembali.

            Disamping merang, untuk keperluan keramas ada kalanya digunakan lidah buaya. Sedang untuk memperindah dan mencegah kerontokan rambut dugunakan minyak kemiri. Baunya harum dan dipakai juga oleh pria. Minyak kemiri yang terkenal kala itu “ Cap Dua Anak “, keluaran Thio Tek Tjoe, seorang shinshe yang buka praktek di depan bioskop Kramat (Grand). Sampai awal 1950-an, shinshe ini tiap hari didatangi ratusan pasien, terutama anak-anak untuk berobat. Maklum kala itu dokter belum banyak.

            Ada lagi tradisi  yang hingga kini masih terus dilakukan, yakni tradisi ziarah kubur jelang puasa. Di Masyarakat Betawi, seperti dikemukakan H. Irwan Syafi’i tidak dikenal apa yang disebut nyekar. Yang dikenal hanya ziarah kubur. Kala itu, yang berziarah khusus kaum pria. Wanita dilarang karena khawatir ada diantara mereka yang mendapat haid.Ziarah kubur ini sebagai penghormatan dan mendo’akan arwah orang tua dan keramat. Banyak yang membawa surah Yasin atau membaca tahlil, sambil membersihkan makam kerabat.

            Ada lagi yang tidak boleh dilupakan menjelang Ramadhan. Mengantar penganan kepada orang tua. Bukan saja anak dan cucu, tapi calon mantu juga mengantar penganan pada calon mertoku.Penganan kala itu umumnya roti, sirop dan korma. Konon, sampai sekarang masih ada hal semacam itu.

            Di depan tiap rumah diterangi puluhan lampu minyak tanah, sejak maghrib  hingga subuh. Ini dilakukan hingga akhir bulan Ramadhan. Dan akan lebih meriah lagi pada saat saat malam takbiran. Maklum kala itu belum banyak perkampungan tersentuh listrik.

            Kala itu para tukang dagang baru membuka dagangannya pukul lima sore. Mereka menjual gado-gado , asinan, kredok, kolak pisang, ubi dan tales. Di siang hari hampir tidak ada orang dagang. Hampir tidak ditemukan orang yang makan/minum dijalan. Bahkan para tamu – sekalipun tidak puasa – jangan harap dapat suguhan makan dan minum.

            Anak-anak sejak usia tujuh tahun sudah dididik untuk jalankan ibadah puasa. Meskipun hanya setengah hari dan berbuka saat dzuhur. Malamnya mereka diajak orang tuanya shalat tarawih.

            Bagi mereka yang bertempat tinggal diperkampungan masyarakat Betawi jangan khawatir terlambat sahur. Apalagi sampai ketinggalan makan sahur. Karena untuk menyiapkan makan sahur para ibu sudah bangun antara pukul 02.00 hingga 03.00 dini hari. Pada jam-jam tersebut, para pemuda akan mengitari rumah-rumah di kampung-kampung. Dengan membawa kencengan atau memukul tiang listrik mereka berseru : “ Saur…saur…saur…”