Selamat Datang di
Website Himpunan Keluarga Maula Aidid

Al-Imam Muhammad Maula Aidid mendirikan rumah dan masjid kecil di lembah Aidid. Tidaklah orang-orang datang ke lembah tersebut kecuali untuk melaksanakan shalat jum’at atau berziarah kepada para Ahli Khair dan para Sholihin.

Suatu Ketika Al-Imam ditanya oleh beberapa orang : “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah masjid yang juga dipakai untuk shalat jum’at sedangkan dilembah ini tidak ada penghuninya”.. Lalu beliau menjawab :” Nanti akan datang suatu zaman yang mana di zaman tersebut banyak sekali ummat yang datang kelembah ini dan bertabaruk “.

Artikel Islami

PEKOJAN DAN GERAKAN ISLAM

by Alwi Shahab

Anda yang sering ke China Town. Glodok, di Jakarta, tentu pernah dengar daerah Pekojan. Daerah ini berada dekat dengan salah satu pusat perdagangan produk elektronika tersebut.

             Pekojan bersama jirannya, Glodok, merupakan kampung tua di Jakarta yang dibangun pada abad ke-18. Sampai tahun 1950-an keturunan Arab merupakan mayoritas penduduk Pekojan. Prof Dr LWC Van den Berg, orientalis Belanda pernah meneliti kampung ini pada 1884-1886. Menurutnya, sebelum dihuni etnis Arab yang datang dari Hadhramaut (Yaman Selatan), Pekojan lebih dulu menjadi pemukiman orang Benggali dari India. Kata Pekojan berasal dari kata Koja, sebutan untuk Muslim India yang datang dari Benggali.

            Sekalipun sekarang sudah tidak terdapat lagi warga India di Pekojan, tapi warga menyebut Jl. Pengukiran II di Pekojan itu dengan sebutan Gang Koja. Saat keturunan India sudah hijrah dari Pekojan, etnis Arab tetap ada di sini dan cukup berperan, meski mereka minoritas. Sebagian Keturunan Arab dari Pekojan pindah ke Tanah Abang, Jatinegara, Cawang, Condet, Depok dan Bogor.

             Meskipun keturunan Arab kini minoritas di Pekojan, tapi sejumlah musholla dan masjid yang mereka dirikan ratus tahun lalu masih terlihat di kampung ini. Masjid An Nawir yang didirikan 1760, yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan adalah salah satunya. Di bagian belakang masjid ini masih terdapat makam pendirinya Syarifah Fatmah. Masjid ini pada akhir abad ke-18 diperluas oleh Sd Abdullah bin Husein Alaydrus, seorang tuan tanah kaya raya yang namanya diabadikan menjadi Jl.Alaydrus tempat ia tinggal di Batavia.

             Di masjid inilah tempat Habib Usman bin Yahya, mufti Islam di Batavia mengajar. Habib kelahiran Pekojan 1238 H (kini 1424 H) dikenal produktif menulis buku-buku agama. Di antara 50 buku karangannya, masih digunakan di pengajian-pengajian. Muridnya yang terkenal adalah Habib Ali Alhabsyi, yang kurang lebih seabad lalu mendirikan majelis taklim Kwitang.

             Selain itu terdapat masjid Zawiah di Pekojan yang didirikan oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas, yang lahir di Tarim, Hadhramaut. Ia datang ke Jakarta untuk berdakwah pada 1294 H. Masjid yang telah diwakafkannya ini semula merupakan musholla. Ia adalah guru Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, yang membangun masjid dan majelis taklim di Empang, Bogor.

             Ada lagi Masjid Langgar Tinggi di Jl. Pekojan Raya yang dibangun seorang kapiten Arab, Syaikh Said Naum. Sebelum tinggal di Pekojan, ia tinggal di palembang. Dia juga memiliki sejumlah armada kapal, dan mewakafkan sebuah tanah yang luas untuk di jadikan TPU di Tanah Abang. TPU ini kemudian dijadikan rumah susun oleh Ali Sadikin saat menjadi gubernur DKI Jakarta. Masih ada lagi sejumlah masjid di Pekojan, seperti Al-Anshar, Masjid Kampung Baru, juga Masjid Raudah ( kini digunakan sebagai tempat peribadatan kaum wanita di Pekojan ).

             Ketika menempatkan etnis Arab di Pekojan, Belanda memberlakukan Wijken-en passen stelsen. Dengan sistem ini seorang Arab dari Pekojan ketika hendak bepergian ke lain tempat harus memiliki pas jalan. Bila keluar kota izin bepergian baru keluar berhari-hari.

             Mr Hamid Algadri dalam bukunya  Islam dan Keturunan Arab Dalam Pemberontakan Melawan Belanda, telah menelanjangi politik kolonial Belanda yang berusaha memisahkan etnis Arab dari bumiputera. Etnis Arab di anggap membahayakan kelanggengan politik kolonial Belanda. Apalagi sejumlah pemberontakan di Tanah Air melawan penjajah, ikut melibatkan orang Arab.

             Bisa dikatakan dari Pekojan inilah dimulai sistem pendidikan Islam modern pertama di Indonesia. Jamiatul Kheir, demikian nama perkumpulan yang lahir di Pekojan  pada 1901. Lembaga ini bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Perkumpulan ini bersifat terbuka untuk setiap Muslim. Pendirinya adalah sejumlah pemuda keturunan Arab di Pekojan, seperti Ali bin Ahmad Shahab, Muhammad bin Abdullah Shahab, Muhammad Al Fachir, Idrus bin Ahmad Shahab dan Said Basandied.

            Tapi, karena dicurigai pemerintah Belanda, Jamiatul Kheir baru mendapatkan izin pada 17 Juni 1905. Kader-kader yang bergerak dan kemudian menjadi tokoh masyarakat antara lain HOS Tjokroaminoto, R. Jayanegara ( Hoof Jaksa Betawi ), RM Wiriadimadja ( Asisten Wedana Rangkasbitung), R Husin Djayadiningrat, dan KH Ahmad Dahlan ( Pendiri Muhammadiyah ).

             Perkumpulan ini mendapat desakan dari para anggotanya untuk mendirikan madrasah. Ketika itu, pendidikan agama di Indonesia dilaksanakan secara tradisional (sistem pendidikan rubath atau pesantren). Di mana seorang guru duduk ditengah-tengah dan dikelilingi para murid didalam membahas pelajaran khusus agama. Sistem ini meniru pendidikan di Hadhramaut.

             Oleh perkumpulan Jamiatul Kheir, sistem tersebut dianggap tidak menjawab tantangan masyarakat Islam. Karena itulah Jamiatul Kheir melakukan modernisasi dalam pendidikan agama. Sistem pendidikan diberikan dalam  kelas dan pelajarannya tidak terbatas pada kajian agama. Di situ juga diajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Buku pelajarannya berbahasa Arab, Melayu dan Inggeris.

             Tahun 1905, sejumlah kiyai, Ulama dan Habaib menyewa rumah di Tanah Abang, yang kemudian jadi cikal bakal madrasah Jamiatul Kheir. Madrasah yang terletak di Jl. K.H.Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat ini diketuai Ali Abubakar Shahab. Pendirian madrasah modern tersebut oleh Belanda dianggap membahayakan politik kolonialnya yang anti-Islam. Besarnya rasa benci, Belanda sampai-sampai menyisipkan ajaran anti-Islam dalam pelajaran sekolah.

             Meski begitu, Jamiatul Kheir tetap mengobarkan semangat Pan Islamisme Sayyid Djamaluddin Al-Afghani, Syekh Mohammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha. Jamiatul Kheir juga mendatangkan guru-guru dari Timur Tengah seperti Ustadz Muhammad Syekh Soorkati dari Sudan (1911), yang kemudian mendirikan organisasi Islam Al-Irsyad (1914). Secara bersamaan, Jamiatul Kheir juga mendatangkan Ustadz Muhammad Thayib Al-Maghribi dari maroko, dan Ustadz Muhammad Noor Abdul Hamid dari Mekah, serta Ustadz Muhammad Abdul Fadl Al-Anshari dari Sudan pada 1913.

             Begitu dikenalnya Jamiatul Kheir pada 1950-an, hingga murid-muridnya tidak dari Jakarta saja, tapi juga dari berbagai tempat di Nusantara. Setelah kembali ke daerah asalnya mereka menjadi guru dan mendirikan madrasah di Serang, Cilegon, Bogor, Purwakarta, Cirebon, Rangkas Belitung, Palembang hingga ke Manado.

             Tentang Jamiatul Kheir tokoh Syarikat islam (SI) yang diwawancarai oleh Robert van Niel (penulis buku The Emergency of Modern Indonesia Elite) memberi pengakuan khusus.   Pada tahun 1904 atau 1905, khusus mengatasi ekonomi lemah Indonesia, beberapa keturunan Arab dan beberapa orang Sumatera membentuk suatu organisasi gotong royong yang dinamakan Jamiatul Kheir. Banyak anggota Boedi Utomo dan SI adalah bekas anggota Jamiatul Kheir, katanya.

             Di samping mendatangkan para pakar pendidikan, Jamiatul Kheir juga mendatangkan surat kabar dan majalah dari dunia Islam di Timur Tengah. Tulisan-tulisan dalam majalah dan surat kabar ini kemudian disebarluaskan. Hingga paham dan gerakan Pan Islam juga bergabung di Batavia serta Nusantara. Hal ini menyebabkan Belanda makin memperketat pengawasannya terhadap organisasi Islam.

 

Oleh    : Alwi Shahab

Cover buku    : Saudagar Baghdad dari Betawi

Penerbit : Republika